HarianLampung.co.id – Industri ubi kayu dan tepung tapioka di Lampung didominasi oleh struktur pasar oligopoli, dimana empat pelaku usaha terbesar menguasai lebih dari 75 persen pasar. Hal ini membuat petani tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga jual singkong mereka, yang sering kali ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan pembeli besar.
Kajian yang dilakukan oleh Heri menemukan praktik oligopsoni dalam pembelian bahan baku ubi kayu, di mana hanya beberapa perusahaan besar menjadi pembeli utama dari panen petani. Situasi ini menyebabkan petani merasa dirugikan karena harga singkong mereka ditentukan tanpa memperhitungkan biaya produksi yang mereka keluarkan.
Heri menekankan pentingnya pengaturan impor agar tidak dimanfaatkan sebagai alat spekulasi yang dapat menyebabkan harga singkong petani turun drastis. Dia juga menegaskan bahwa impor harus dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan untuk menekan harga pasar lokal.
Untuk mengatasi masalah ini, DPRD Provinsi Lampung telah membentuk Pansus Tata Niaga Singkong. Pansus ini bertugas merancang regulasi dan kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan tata niaga singkong yang lebih adil bagi petani dan industri di masa depan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani tanpa menghambat pertumbuhan sektor industri.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi petani ubi kayu di Lampung terkait harga dan menjaga keseimbangan antara kepentingan petani dan industri dalam jangka panjang.